BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah sebagai salah
satu jalan hidup untuk membangun model perilaku bagi manusia dalam semua aspek
kehidupannya, salah satunya yaitu iman dan moral. Islam merupakan agama yang
dipresentasikan oleh Al-Qur’an yang tidak akan pernah berubah. Dalam
hal ini islam juga mengatur manusia dalam hal berbisnis yaitu melakukan
kegiatan ekonomi yang memerlukan landasan hukum guna menjaga keteraturan hidup
bermasyarakat.
Sumber hukum yang diakui
sebagai landasan hukum dalam bisnis islam yaitu terdiri dari Al-Qur’an, Hadits. Seperti misalnya
mengatur mengenai perdagangan, riba,
kewajiban untuk bekerja keras. Selain itu juga mengatur mengenai aturan kinerja
dalam berbisnis.
Dalam QS. Ar Ra’d (13):11, Allah berfirman
yang artinya : “sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan
suatu kaum sehingga mereka merubah keadaannya yang ada pada diri mereka sendiri”. ini artinya Allah
menganjurkan manusia untuk senantiasa bekerja demi kelangsungan hidupnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk
pedoman berbisnis dalam Islam?
2. Bagaimana Islam
memandang tentang bisnis Islam?
3. Bagaimana
berbisnis dalam model syariah?
4. Bagaimana
prinsip-prinsip dan kunci sukses dalam berbisnis secara baik?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui dan memahami
mengenai pedoman bisnis dalam Islam
2. Untuk mengetahui dan memahami tentang
pemahaman Islam terhadap bisnis
3. Untuk mengetahui dan memahami model
berbisnis dalam syariah
4. Untuk mengetahui dan memahami
prinsip-prinsip dan kunci sukses dalam berbisnis secara baik
BAB II
PEMBAHASAN
Pedoman Bisnis dalam Islam
A.
Pengertian Pedoman Bisnis
dalam Islam
Secara umum pedoman Islam tentang masalah
kerja tidak membolehkan pengikut-pengikutnya untuk bekerja mencari uang sesuka
hatinya dan dengan jalan yang tidak baik, seperti penipuan, kecurangan, sumpah
palsu dan perbuatan batil lainnya. Tetapi, Islam memberikan kepada mereka suatu
garis pemisah antara yang boleh dan tidak boleh dalam memcari perbekalan hidup,
dengan menitikkan beratkan juga kepada masalah kemaslahatan umum, seperti suka
sama suka, sehingga tidak ada pihak yang nerasa dirugikan dan dizalimi dalam
transaksi tersebut. Semua jalan yang saling mendatangkan manfaat antara
individu-individu dengan saling rela-merelakan dan adil adalah dibenarkan.
Prinsip ini telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya Surah An-Nisa ayat 29:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”(QS. An-Nisa;29)
Ayat ini memberikan syarat, bahwa boleh dilangsungkannya
perdagangan dengan dua hal: perdagangan itu harus dilakukan atas dasar saling
rela antara dua belah pihak. Tidak boleh bermanfaat untuk satu pihak dengan
merugikan pihak lain; tidak boleh saling merugikan, baik untuk sendiri maupun
untuk orang lain. Ayat ini pun memberikan pengertian, bahwa
setiap orang tidak boleh merugikan orang lain demi kepentingan diri sendiri (vested
interest). Sebab, hal ini seolah-olah menghisap darahnya dan membuka jalan
kehancuran untuk dirinya sendiri, mialnya mencuri, menyuap, berjudi, menipu,
mengaburkan, mengelabui, riba, atau pekerjaan lain yang diperoleh dengan jalan
tidak benarkan. Tetapi apabila sebagian itu diperoleh atas dasar saling suka sama
suka, maka syarat yang terpenting adalahjangan kamu membunuh diri kamu. Dengan
memahami ayat-ayat tersebut, maka ada bentuk-bentuk transaksi yang dapat
dikategorikan terlarang, yaitu sebagai berikut:[1]
1. Tidak jelasnya takaran dan
spesifikasi barang yang dijual.
2. Tidak jelas bentuk jalannya.
3. Informasi yang diterima tidak
jelas, sehingga pembentukan harga tidak berjalan dnegan mekanisme yang sehat.
4. Penjual dan pembeli tidak
hadir dipasar, sehingga perdagangan tidak berdasarkan harga pasar.
Model-model transaksi diatas
hendaknya menjadi perhatian serius dari pelaku pasar muslim. Penegakan
nilai-nilai moral dalam kehidupan perdagangan dipasar harus disadari secara
personal oleh setiap pelaku pasar. Artinya, nilai-nilai moralitas merupakan
nilai yang sudah tertanam dalam diri para pelaku pasar, karena ini merupakan
refleksi dari keimanan kepada Allah. Dengan demikian, seseorang boleh saja
berdagangdengan tujuan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi (dalam
Islam) bukan sekadar mencari besarnya keuntungan melainkan dicari juga
keberkahan.[2]
Umat Islam memiliki landasan
yang jelas dan pasti yaitu Al-Qur’an dan Hadis.
a. AL-QUR`AN
Al-qur`an adalah kallam Allah, merupakan
mu`jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada nabi Muhammad SAW yang ditulis di
mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Ayat Al Qur`an tentang pedagangan
Allah tidak akan menurunkan
rezeki kepada manusia kecuali manusia berusaha untuk mendapatkannya. Dan telah
ditentukan waktu bagi manusia untuk bekerja dan beristirhat, yang disesuaikan
dengan kemampuan manusia.
“sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaannya yang ada pada
diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra`d (13):1).
b. HADITS
Al-Hadits adalah berita yang berasal dari
nabi. Boleh jadi berita itu berwujud perkataan (qauliyah), perbuatan
(fi`liyah), dan pengakuan atau persetujuan terhadap perkataan orang lain
(taqrir). Sedangkan sunnah adalah perilaku Rosululloh yang berdimensi hukum,
dengan demikian dalam kapasitasnya sebagai rasul.
a.)
Hadits tentang Bekerja Keras
Bekerja keras merupakan jalan bagi
manusia untuk mendapatkan berkah dari Allah, maka dengan bekerja kedudukan
manusia dihadapan allah bisa terangkat bila manusia dalam bekerja dengan penuh
ketekunan, keikhlasan, dan kejujuran.
“Sesungguhnya Allah mencintai
salah seorang diantara kamu yang melakukan suatu pekerjaan dengan baik (ketekunan)” (HR. Baihaqi).
“Sebaik-baik usaha adalah
usaha seorang pekerja yang dilakukan secara tulus” (HR. Ahmad Bin Hambal.
b.)
Hadits tentang Perdagangan.
Rosululloh SAW. Menganjurkan umatnya
untuk memperhatikan sikapnya dalam berdagang.
“Pedagang yang jujur dan dapat
dipercaya termasuk dalam golongan para nabi, orang-orang yang benar-benar
tulus dan para syuhada`” (HR. Tarmizi, Darimi, dan
Daraqutni)
“Seseorang pedagang yang tulus
(yakni selalu mengutamakan kebenaran dalam ucapan dan tindakannya) akan di
bangkitkan kelak pada hari kiamat dalam kelompok para sidiqin dan syuhada`”. (HR. Tirmidzi dan Hakim).[3]
Seseorang
yang dalam usahanya mencapai tujuan akhir tidak menyimpang dari batasan
kabaikan maka ia akan menemukan kabahagiaan tertinggi, oleh karena itu apabila
terjadi penyimpangan dalam mencapai tujuan akhir itu, maka yang didapat
hanyalah penderitaan, baik yang dirasakan sendiri maupun pihak lain, baik
secara langsung maupun tidak.
Kebaikan yang sejati yang
sesuai Al-Qur’an dan hadis merupakan kebahagiaan yang menyeluruh dan tidak
membawa penderitaan. Mungkin usaha perbuatan yang dilakukannya didunia
merupakan penderitaan tetapi itu hanya sementara, akan tetapi membawa
kebahagiaan tertinggi sebagaimana dicita-citakan setiap manusia, seperti
tindakan pengorbanan, berpuasa,
belajar dengan tekun, bekerja kerasuntuk mencari rezeki yang halal, jujur,
disiplin, dan sebagainya. Dalam redaksi yang lugas kita temukan perintah Allah
dalam Surah al-Qasash ayat 77:
Artinya: “Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qasash:77)
Ayat ini sangat jelas
menjelaskan bahwa Islam menjunjung tinggi nilai keseimbangan antara dunia dan
akhirat, dan melarang untuk melalaikan salah satu diantaranya.[4]
B. Al-Qur`an Tidak Pernah Berubah
Islam merupakan agama yang dipresentasikan oleh Al-Qur`an,
yang tidak akan pernah berubah. Ketika aturan islam tampak tidak dapat
diaplikasikan pada situasi sekarang ini, maka orang yang sangat memahami islam
harus memikirkan secara mendalam interpretasi saat ini atas ayat-ayat ilmiah
dan mengulas interpretasinya dalam hukum-hukum islam.
Namun demikian, dalam hal hukum (aturan) bisnis, yang mana
seseorang membuat peraturan, posibilitas membuat satu peraturan salah atau
tidak dapat diaplikasikan ada. Pembuat peraturan bisnis harus mengakui
posibilitas kemungkinan salah dalam setting peraturan.
Dalam masalah deviasi kinerja aktual dari kinerja yang
diharapkan, pembuat peraturan bisnis hendaknya memikirkan posibilitas
perubahan peraturan untuk menyesuaikan dengan situasi yang ada.
Islam mendorong manusia untuk melibatkan diri dan saling
konsultasi. Dalam kenyataan Allah berfirman bahwa masalah muslim hendaknya
merupakan subyek konsultasi. Konsultasi mempertinggi proses pembuatan keputusan
dan meminimalisir posibiltas salah penilaian. Tidak seperti hukum islam, yang
tidak dapat berubah, meskipun interpretasinya harus ‘terus’ diulas.
Motivasi pelaku merupakan tindakan korektif lain yang
hendaknya dilakukan manajer bisnis. Allah memotivasi manusia secara individual.
Terdapat beberapa janji dalam Al-Qur’an yang mana muslim
mempertimbangkan motivasi yang tepat untuk mengikuti hukum Allah.
Dalam lingkungan bisnis, manajer hendaknya mengusahakan
efisiensi kinerja melalui program motivasi yang tepat. Hal ini mungkin saja
dengan menggunakan dasar individu maupun kelompok.[5]
C. Berbisnis dengan Model Syari’ah
Landasan syariah adalah
kebijaksanaan dan kebahagiaaan manusia di dunia dan di akhirat. Kesejahteraan
ini terletak pada keadilan, kasih saying, kesejahteraan dan kebijaksanaan.
Sementara apapun yang bergeser dari keadilan, menjadi ketidak adilan, kasih sayang menjadi
penindasan, kesejahteraan menjadi kesengsaraan, dan kebijaksanaan menjadi
kebodohan, tidak ada sangkut pautnya dengan syari’ah. Tujuan syari’ah yang paling benar adalah
memajukan kesejahteraan manusi yang terletak pada jaminan atas keyakinan, intelektual,
harta dan masa depannya.
Ekomomi islam berpijak pada landasan hukum
yang pasti yang mempunyai manfaat untuk mengatur masalah kemasarakatan,
sehingga hukum harus mampu menjawab segenap masalah manusia, baik masalah yang
besar sampai masalah yang belum dianggap masalah. Hukum digunakan untuk
mengelola kehidupan manusia dari berbagai sektor ekonomi, sosial, politik dan
budaya yang didasarkan atas kemaslahatan.[6]
Dalam QS. Al-Mulk ayat 15
dijelaskan mengenai bahwa kita dianjurkan untuk berusaha mencari harta kekayaan:
Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi
itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah
sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk:15)
Bisnis yang dibangun dengan
standar bisnis syari’ah Allah yaitu bisa dengan cara: buat
patok baku dalam membangun bisnis dengan Orieantasi Keberkahan Allah, riilnya:
a. Niatkan dengan ikhlas dalam membangun bisnis semata untuk
mencari ridha Allah
b. Nyatakan dalam sujud, doa
bahwa apa yang dapat dikerjakan setiap harinya semata karena kemampuan Allah
SWT
c.
Perbanyak syukur,
dengan membaca hamdallah, lanjutkan banyak membaca istigfar (pembuka
gembok-gembok pengunci, panjer rezeki, pembuka keberuntungan, mendamaikan hati
dan menghilangkan kerusakan –dosa)[7]
Keberkahan
usaha merupakan kemantapan dari usaha itu untuk memperoleh keuntungan yang
wajar dan diridhai oleh Allah swt. Untuk memperoleh keberkahan dalam jual beli,
Islam mengajarkan prinsip-prinsip moral, sebagai berikut:
a.
Jujur dalam menakar
dan menimbang.
b.
Menjual barang yang
halal.
c.
Menjual barang yang
baik mutunya.
d.
Tidak menyembunyikan
cacat barang.
e.
Tidak melakukan
sumpah palsu.
f.
Longgar dan murah
hati.
g.
Tidak menyaingi
penjual lain.
h.
Tidak melakukan
riba.
i.
Mengeluarkan zakat
bila telah sampai nisab dan haulnya.
Dan juga
dalam kunci membangun bisnis syariah yaitu:
1.
Mudghah : Kebeningan hati
2.
Fathonah : Cerdas, kreatif dan inovatif
3.
Al-Ikhsan : Terbaik
4.
Al-Itqan :
Profesional
5.
Shiddiq :
Benar dan jujur
6.
Amanah :
Menepati janji
7.
Tabligh :
Komunikatif[8]
Prinsip-prinsip
tersebut diajarkan Islam untuk diterapkan dalam dunia perdagangan agar
memperoleh keberkahan usaha. Dalam Islam, pasar merupakan wahana transaksi
ekonomi yang ideal, karena secara teoretis maupun praktis, Islam menciptakan
suatu keadaan pasar yang dibingkai oleh nilai-nilai syariat, meskipun tetap
dalam suasana bersaing. Artinya, konsep pasar dalam Islam adalah pasar yang
ditumbuhi nilai-nilai syariat seperti keadailan, keterbukaan, kejujuran, dan
persaingan sehat yang merupakan nilai-nilai universal, bukan hanya untuk muslim
tetapi juga nonmuslim.
Islam
mengajarkan bahwa tidak semua barang dan jasa dapat dikonsumsi dan diproduksi.
Seorang muslim hanya diperkenankan mengkonsumsi dan memproduksi barang yang
baik dan halal, sehingga barang yang haram harus ditinggalkan.
Barang
yang haram untuk dikonsumsi dan diproduksi seperti berbisnis dalam berdagang
khamr, minuman keras lainnya, narkotik, daging babi, perkakas yang diharamkan
seperti berhala dan patung-patung, serta bahan makanan yang membahayakan.[9]
Norma
khas ini tentu saja harus diimplementasikan dalam kehidupan di pasar. Selain
itu, Islam juga sangat memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat umum
dan berlaku secara universal seperti persaingan sehat, kejujuran, keterbukaan,
dan keadilan. Keterikatan seorang muslim dengan norma-norma ini akan menjadi
sistem pengendali yang bersifat otomatis bagi pelakunya dalam aktivitas pasar.
Denagn mengacu kepada Al Qur’an dan
praktek kehidupan pasar pada masa Rasulullah dan para sahabatnya, Ibn Taimiyyah
menyatakan, bahwa ciri khas kehidupan pasar yang Islami adalah sebagai berikut:
a.
Orang harus bebas
untuk keluar dan masuk pasar. Mamaksa orang untuk menjual barang dagangan tanpa
ada kewajiban untuk menjual merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan
itu dilarang.
b.
Adanya informasi
yang cukup mengenai kekuatan-kekuatan pasar dan barang-barang dagangan.
c.
Unsur-unsur
monopolistik harus dilenyapkan dari pasar.
d.
Adanya kenaikan dan
penurunan harga yang disebabkan naik turunnya tingkat permintaan dan penawaran.
e.
Adanya homogenitas
dan standardisasi produk agar terhindar dari pemalsuan produk, penipuan, dan
kecurangan kualitas barang.
f.
Terhindar dari
penyimpangan terhadap kebebasan ekonomi yang jujur, seperti sumpah palsu,
kecurangan dalam menakar, menimbang, mengukur, dan niat yang buruk dalam
perdagangan’
Dengan
memperhatikan kriteria pasar islami tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
pasar islami itu dibangun atas dasar terjaminnya persaingan sehat yang
dibingkai dalam nilai dan moralitas Islam. Oleh karena itu, konsepsi kebebasan
dalam Islam lebih mengarah kepada kerjasama, bukan persaingan apalagi saling
mematikan usaha antara satu dengan yang lain. Kalaupun ada persaingan dalam
usaha maka itu berarti persaingan dalam hal berbuat kebaikan. Inilah yang
disebut dalam Al Qur’an
dengan fastabiq al-khayrat (berlomba-lomba dalam kebajikan). Dengan demikian,
kerjasama atau berlomba-lomba melakukan kebajikan mendapat perhatian serius
dalam ajaran Islam.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara umum pedoman Islam tentang masalah
kerja tidak membolehkan pengikut-pengikutnya untuk bekerja mencari uang sesuka
hatinya dan dengan jalan yang tidak baik, seperti penipuan, kecurangan, sumpah
palsu dan perbuatan batil lainnya.
Landasan syariah adalah kebijaksanaan dan
kebahagiaaan manusia di dunia dan di akhirat. Kesejahteraan ini terletak pada
keadilan, kasih saying, kesejahteraan dan kebijaksanaan.
Islam
mengajarkan prinsip-prinsip moral, sebagai berikut:
·
Jujur dalam menakar
dan menimbang.
·
Menjual barang yang
halal.
·
Menjual barang yang
baik mutunya.
·
Tidak menyembunyikan
cacat barang.
·
Tidak melakukan
sumpah palsu.
·
Longgar dan murah
hati.
·
Tidak menyaingi
penjual lain.
·
Tidak melakukan
riba.
·
Mengeluarkan zakat
bila telah sampai nisab dan haulnya.
Dan juga
dalam kunci membangun bisnis syariah yaitu:
Ø Mudghah : Kebeningan hati
Ø Fathonah : Cerdas, kreatif dan inovatif
Ø Al-Ikhsan : Terbaik
Ø Al-Itqan : Profesional
Ø Shiddiq : Benar dan jujur
Ø Amanah : Menepati janji
Ø Tabligh : Komunikatif
B.
Saran
Demikianlah penyusunan makalah ini,
semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Dalam penulisan ini kami
sadari masih banyak kekurangan, saran dan kritik yang membangun sangat kami
harapkan untuk menyempurnakan makalah ini.
[1]
Veithsal Rivai, dkk, Islamic Business and Economic Ethics, (Jakarta: PT
Bumi Aksara,2012), hlm.26-27
[2]
Ibid, hlm.28
[3]
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Penerbit Ekonisia, 2002), hlm.26
[4]
Ali Hasan, Manajemen Syari’ah Kaya dI Dunia Terhormat di Akhirat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), hlm.16
[5]
Taha Jabir Al- Alwani, Bisnis Islam. (Yogyakarta: AK Group, 2005),
hlm.178.
[6]
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Penerbit Ekonisia, 2002), hal 25.
[7]
Ali Hasan, Manajemen Syari’ah Kaya dI Dunia Terhormat di Akhirat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), hlm.6-8
[8]
Ali Hasan, Manajemen Syari’ah Kaya dI Dunia Terhormat di Akhirat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), hlm.257
[9]
Yusuf Qardhawi, Masyarakat
Berbasis Syariat Islam, (Solo: Era Intermedia,2003), hlm.96
[10]
Veithsal Rivai, dkk, Islamic Business and Economic Ethics, (Jakarta: PT
Bumi Aksara,2012), hlm.29-30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar